Segudang Kebaikan di Tanah Rantau
Pertengahan 2012
Iya. Setiap masa memang selayaknya memberi pelajaran. Hikmah kehidupan yang membuat seseorang lebih baik.
Perjalananku tiga tahun di Magelang rupanya tak membuat permintaan Bapak untuk merantau ke tempat lain semakin surut.
Rupanya, aku disarankan kembali merantau. Ditempat yang lebih jauh. Jakarta. Pusat hiruk pikuk ibu kota.
Ingin rasanya menolak dan berkata tidak. Tapi lagi-lagi ini demi kebaikanku. Aku tau bahwa pilihan Bapak Ibu tentulah yang terbaik.
Hingga akhirnya waktulah yang menggiringku bertemu orang hebat, komunitas luar biasa, dengan semangat besar orang-orang di dalamnya.
Aku belajar banyak dari merantau. Semua hal yang tak pernah kudapatkan saat aku merasa nyaman di rumah. Rasa aman yang tak lagi kumiliki saat merantau.
Merantaulah, kelak kau akan tahu bahwa sentuhan masakan Ibu-lah yang terbaik. Ditengah kesendirianmu di tanah rantau, akan kau rasakan kelaparan yang menjadi-jadi, melupakan hangout dan tak ada kata makanan hits karena harus menyimpan uang rapat-rapat. Dari situlah kau akan semakin menghargai makanan apapun, meski sebutir nasi.
Merantaulah, karena kau akan paham bahwa kehangatan keluarga adalah harta paling berharga yang pernah kaurasakan, namun Allah pun akan mempertemukan mu dengan keluarga baru yang akan menemani hari-hari mu. Keluarga baru akan kau dapat.
Merantaulah, karena dari itu kau dipaksa menyelesaikan masalahmu sendiri, hanya mengandalkan dirimu dan Allah.
Pergi dari rumahmu dan cobalah merantau. Kau akan tahu, betapa tak mudahnya hidup ini. Butuh perjuangan lebih dan ketangguhan untuk melewati samudera kehidupan. Dan tentu, susah payah itulah yang membuat mental kita semakin kuat atas pertolongan Allah.
Akupun merasakan benar kalimat para ustadz dalam kajian parenting. Disinilah peran Ayah si raja tega diuji. Melepaskan putrinya pergi ke luar daerah. Demi kebaikan. Sungguh, peran Ayah si raja tega itulah yang membuatku kini lebih baik. Diseimbangkan pula dengan ibu sang pembasuh luka dan penenang.
Malam itu aku menangis diam-diam. Diujung kamar asrama kami. Iya, aku benar-benar rindu tilawah Al Qur'an setelah maghrib bareng Ibu Bapak.
Aku yang mengaku baik-baik saja di tanah rantau, nyatanya tangisku pecah. Membuat al quran dalam pangkuanku basah oleh beberapa tetes tangisan.
Iya. Aku sadar bahwa inilah pilihanku. Merantau dari Kendal ke Ibu Kota Jawa Tengah memanglah pilihanku. Malu rasanya saat harus bercerita bahwa aku ingin pulang.
Namun semua itu hanya soal waktu. Beberapa bulan perantauanku di Semarang tak lagi membuat tangisku pecah ditengah malam. Bahkan memberi banyak pelajaran hidup.
Tapi waktu menggiringku pada kenyataan lain. Bahwa selepas SMP aku harus sekolah lebih jauh dari rumah. Kota tempat Candi Borobudur, Magelang. Tak ada alasan bagiku menolak masukan Bapak Ibu untuk sekolah di kota itu.
Hanya satu hal yang menguatkanku saat itu. Aku punya Mas di sini. Di tempat asing yang jauh dari orang yang ku kenal, ada Mas Zaki yang bisa membantu. Setidaknya untuk sementara waktu.
Tentu, ditempat baru nan asing itu tangis itu pecah kembali. Terulang lagi seperti beberapa tahun silam saat di Semarang. Namun kesibukan sekolah dari jam enam pagi sampe sore. Belum lagi ekstrakurikuler dan tanggung jawab organisasi membuatku larut dalam kesibukan itu. Meski setiap hari selalu menghitung waktu, kapan weekend dan jatah telpon ku? Kapan sepuluh menit berhargaku bercakap dengan Ibu Bapak itu tiba? Kapan perpulangan tiba? Dan berbagai pertanyaan yang intinya KANGEN.
Aku yang mengaku baik-baik saja di tanah rantau, nyatanya tangisku pecah. Membuat al quran dalam pangkuanku basah oleh beberapa tetes tangisan.
Iya. Aku sadar bahwa inilah pilihanku. Merantau dari Kendal ke Ibu Kota Jawa Tengah memanglah pilihanku. Malu rasanya saat harus bercerita bahwa aku ingin pulang.
Namun semua itu hanya soal waktu. Beberapa bulan perantauanku di Semarang tak lagi membuat tangisku pecah ditengah malam. Bahkan memberi banyak pelajaran hidup.
Tapi waktu menggiringku pada kenyataan lain. Bahwa selepas SMP aku harus sekolah lebih jauh dari rumah. Kota tempat Candi Borobudur, Magelang. Tak ada alasan bagiku menolak masukan Bapak Ibu untuk sekolah di kota itu.
Hanya satu hal yang menguatkanku saat itu. Aku punya Mas di sini. Di tempat asing yang jauh dari orang yang ku kenal, ada Mas Zaki yang bisa membantu. Setidaknya untuk sementara waktu.
Tentu, ditempat baru nan asing itu tangis itu pecah kembali. Terulang lagi seperti beberapa tahun silam saat di Semarang. Namun kesibukan sekolah dari jam enam pagi sampe sore. Belum lagi ekstrakurikuler dan tanggung jawab organisasi membuatku larut dalam kesibukan itu. Meski setiap hari selalu menghitung waktu, kapan weekend dan jatah telpon ku? Kapan sepuluh menit berhargaku bercakap dengan Ibu Bapak itu tiba? Kapan perpulangan tiba? Dan berbagai pertanyaan yang intinya KANGEN.
Iya. Setiap masa memang selayaknya memberi pelajaran. Hikmah kehidupan yang membuat seseorang lebih baik.
Perjalananku tiga tahun di Magelang rupanya tak membuat permintaan Bapak untuk merantau ke tempat lain semakin surut.
Rupanya, aku disarankan kembali merantau. Ditempat yang lebih jauh. Jakarta. Pusat hiruk pikuk ibu kota.
Ingin rasanya menolak dan berkata tidak. Tapi lagi-lagi ini demi kebaikanku. Aku tau bahwa pilihan Bapak Ibu tentulah yang terbaik.
Hingga akhirnya waktulah yang menggiringku bertemu orang hebat, komunitas luar biasa, dengan semangat besar orang-orang di dalamnya.
Aku belajar banyak dari merantau. Semua hal yang tak pernah kudapatkan saat aku merasa nyaman di rumah. Rasa aman yang tak lagi kumiliki saat merantau.
Merantaulah, kelak kau akan tahu bahwa sentuhan masakan Ibu-lah yang terbaik. Ditengah kesendirianmu di tanah rantau, akan kau rasakan kelaparan yang menjadi-jadi, melupakan hangout dan tak ada kata makanan hits karena harus menyimpan uang rapat-rapat. Dari situlah kau akan semakin menghargai makanan apapun, meski sebutir nasi.
Merantaulah, karena kau akan paham bahwa kehangatan keluarga adalah harta paling berharga yang pernah kaurasakan, namun Allah pun akan mempertemukan mu dengan keluarga baru yang akan menemani hari-hari mu. Keluarga baru akan kau dapat.
Merantaulah, karena dari itu kau dipaksa menyelesaikan masalahmu sendiri, hanya mengandalkan dirimu dan Allah.
Pergi dari rumahmu dan cobalah merantau. Kau akan tahu, betapa tak mudahnya hidup ini. Butuh perjuangan lebih dan ketangguhan untuk melewati samudera kehidupan. Dan tentu, susah payah itulah yang membuat mental kita semakin kuat atas pertolongan Allah.
Akupun merasakan benar kalimat para ustadz dalam kajian parenting. Disinilah peran Ayah si raja tega diuji. Melepaskan putrinya pergi ke luar daerah. Demi kebaikan. Sungguh, peran Ayah si raja tega itulah yang membuatku kini lebih baik. Diseimbangkan pula dengan ibu sang pembasuh luka dan penenang.
Jadi... Kapan kamu mulai belajar parenting? #eh wkwkwk
Bogor, Agustus 2020.
Satu hal yang selalu menjadi harapanku. Ingin bersama mereka, orang tekasih, menemani dimasa tuanya yang bahagia.
Bogor, Agustus 2020.
Satu hal yang selalu menjadi harapanku. Ingin bersama mereka, orang tekasih, menemani dimasa tuanya yang bahagia.
📸 foto sekitar enam tahun yang lalu
MaasyaAllah hebat banget ka selma 🤗
BalasHapusAamiin. Makasih desi❤
Hapus