Khusnudzon Terus dan Terus
Sore itu menjelang maghrib, aku yang tengah dikejar deadline dan berhadapan dengan laptop mendengar percakapan singkat dari teman kost di kamar sebelah.
Suaranya yang kencang dan lantang membuatku mendengar jelas percakapan si kakak dengan org di seberang telpon
“iya mba. Gimana kartu kreditnya? Oh mau di kirim ya. Ini alamatnya."
Aku yang mendengar kata kredit langsung terbayang ngerinya dosa riba, dosa paling ringannya seperti menzinai ibu sendiri. Ya.. meski ada kartu kredit tanpa bunga, tapi dekatnya dengan bank konvensional bikin ngeri.
Setengah khawatir dan deg-degan karena mendengar si kakak sedang mengurus kartu kredit.
Tapi aku mencoba acuh tak acuh. Maklum kurang dari dua jam tugasku harus dikumpulkan. Aku tetap menatap layar laptop dan mencoba fokus.
Lagi-lagi percakapan dan suara lantang si kakak membuatku terpaksa mendengar obrolan itu. “Oh limitnya 45 juta ya mba. Ok deh."
Hati ku semakin deg-degan. Jantungku semakin kencang berdetak. Wow limitnya segede itu. Buat apa si kakak mengurus kartu kredit dengan limit segede itu? Apa nggak malah takut ribet dan urusannya panjang? Buat apa juga kalo cuma untuk gaya hidup, bukan kebutuhan. Pikirku selintas.
Adzan maghrib terdengar dari masjid sekitar kost-an kami. Dan setelah solat berjamaah dengan penghuni kost lain, aku yang masih dikejar deadline terpaksa kembali ke dalam kamar dan meneruskan pekerjaan ku.
Semakin khawatir karena belum kirim email dan batas waktu tinggal 45 mnt lagi.
Di tengah kesibukanku cek dan ricek tugas yang tinggal kirim, aku mendengar lagi suara lantang di kakak tadi. Rupanya ia sedang bercerita pada penghuni kost lainnya, sekaligus rekan kerjanya di sekolah.
“Iya wak, tadi ada telpon kantor masuk. Katanya dari bni dan mau kirim kartu kredit. Tapi kok mencurigakan ya wak?” ucapnya memanggil kata wak yang berarti panggilan khas orang sunda
Maklum si kakak memang sunda pisan.
“Aku takut kalo penipuan wak. Mana aku udah kasih nomer telpon, nomer ktp dan data data penting lagi. Gimana nih wak?” ucapnya setengah panik bercerita pada kawannya.
Aku yang masih saja di depan laptop spontan terkaget dan sadar. Ya Allah. Jadi aku tadi udah suudzon ya... Astaghfirullah. Kenapa bisa berburuk sangka ke kakak itu. Meski dalam hati, aku pikir ini adalah kesalahanku.
Kebodohanku yang menganggap si kakak menuju riba dosa besar. Padahal nyatanya? Ia hanya korban dari ketidaktahuannya dan tanpa maksud sama sekali terhadap kartu kredit tersbut.
Ya rabb. Bukan si kakak itu yang dosa. Tapi diri ini. Mersa benar, nyatanya diri ini yang salah dan berdosa.
Sungguh, terkadang kita menganggap diri kita benar, orang lain salah. Terkadang secara tak sadar kita merendahkan orang lain. Merasa penampilan kita lebih islami lantas menganggap orang lain tak lebih baik dari kita.
Menganggap pengamen, brandalan lusuh lebih rendah dari kita. Padahal? Bisa jadi ia lebih mulia di sisi Allah karena kesabarannya.
Atau melihat anak autis dan keterbelakangan mental lebih buruk dari kita yang tak kurang apapun. Padahal, mereka tak berdosa karena memang tak berakal. Mereka suci. Sedang kita banyak dosa.
Wahai diri, mari berusaha menahan ucapan dan pikiran untuk tak mudah menjudge orang lain. Bagaimanapun ia, seperti apapun penampilannya. Jangan pernah merasa dirimu lebih baik. Justru ia yang merasa lebih baik bisa jadi terjerumus ke dalam bibit setan yang terusir dari surga, karena merasa Ana khoirumminhim (aku lebih baik darimu)
Astaghfirullah. Mari perbanyak istigfar dan memohon ampun pada Nya. Semoga Allah lindung hati kita dan selalu ditunjukan dalam kebaikan. Aamiin.
Renungan di penghujung malam.
Saudarimu. Selma😊
Komentar
Posting Komentar